Oleh: Oksi Juniardi (Aktivis Sosial)
Data 5.626 kasus keracunan akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) bukan angka kecil. Angka ini adalah alarm keras bahwa pelaksanaan program yang digadang-gadang mulia ini menyimpan persoalan serius. Kasus ini tercatat di puluhan kota/kabupaten yang tersebar di 17 provinsi: Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat.
Secara konsep, MBG adalah langkah baik: memastikan anak-anak sekolah mendapatkan gizi seimbang. Namun, apa artinya jika pelaksanaannya justru membahayakan kesehatan siswa? Kasus keracunan massal ini jelas menunjukkan ada masalah serius dalam rantai pengawasan, standar penyediaan, dan distribusi makanan.
Kini muncul dua opsi: pertama, menghentikan sementara sambil melakukan evaluasi menyeluruh; kedua, menghentikan total dan mengalihkan anggaran ke sektor pendidikan.
Menurut saya, opsi pertama jauh lebih rasional. Menghentikan total sama saja mematikan ide dasar yang sebenarnya baik. Pemerintah seharusnya berani melakukan audit ketat, memperbaiki mekanisme penyediaan, hingga memastikan standar higienitas dan gizi benar-benar dijaga. Anak-anak Indonesia berhak atas makanan sehat, bukan sekadar nasi kotak berisiko.
Program MBG tidak boleh jadi ajang proyek asal jalan. Keselamatan generasi muda harus jadi prioritas. Jika pemerintah serius, MBG bisa diperbaiki. Tetapi jika terus dibiarkan amburadul, lebih baik dihentikan sementara sebelum menimbulkan korban lebih banyak.















