Pengangkangan PMA Hingga Dikotomi Birokrasi & Netralitas Pejabat Dari Sang Calon

  • Bagikan

Awan News, Bandar Lampung – Proses pembentukan panitia pemilihan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung kembali menuai sorotan. Undangan yang beredar dinilai janggal, karena Senat Universitas—sebagai organ normatif yang diamanatkan Statuta untuk terlibat langsung—tidak memperoleh ruang sebagaimana mestinya.

Dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 31 Tahun 2017 tentang Statuta UIN Raden Intan Lampung, Senat memiliki peran strategis: mulai dari memberikan pertimbangan terhadap calon Rektor, menetapkan norma akademik, hingga mengawasi penerapan tridharma perguruan tinggi. Pasal 35 hingga Pasal 38 secara tegas menyatakan Senat adalah organ sah dalam tata kelola universitas, bukan sekadar pelengkap administratif.

Namun, realitas menunjukkan hal berbeda. Panitia pemilihan dibentuk tanpa melalui mekanisme kolegial yang terbuka. Senat seakan diposisikan sekadar sebagai “stempel”, bukan aktor pengambil kebijakan. Kondisi ini dinilai sebagai pengangkangan langsung terhadap PMA yang menjadi landasan hukum penyelenggaraan universitas.

Penunjukan Prof. Dr. Safari, S.Ag., M.Sos.I. sebagai Ketua Panitia Pemilihan Rektor semakin memperkuat kesan kejanggalan. Tanpa proses transparan, pengangkatan tersebut dipandang sebagai langkah sepihak yang berpotensi memihak kepentingan kandidat tertentu. Independensi panitia pun patut dipertanyakan, mengingat panitia seharusnya berdiri di atas semua kepentingan demi menjamin legitimasi hasil pemilihan.

Kondisi ini juga menyinggung netralitas birokrasi. Keterlibatan pejabat struktural yang dianggap dekat dengan salah satu calon menimbulkan dikotomi tajam antara kepentingan akademik dan kepentingan pribadi. Padahal, sebagai aparatur sipil negara, mereka terikat pada prinsip netralitas yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.

Fenomena semacam ini bukan kali pertama terjadi. UIN Raden Intan Lampung kerap disebut publik sebagai kampus dengan gaya “koboy”—mengambil keputusan di luar kerangka hukum formal—dan cenderung “kebal hukum” karena lemahnya pengawasan dari otoritas pusat. Alih-alih menjadi teladan dalam penegakan integritas akademik, kampus justru terjebak dalam pusaran pragmatisme birokrasi.

Seorang alumni yang enggan disebutkan identitasnya menegaskan, “Kami merasa prihatin karena proses pemilihan Rektor yang seharusnya dijalankan dengan martabat akademik justru tercederai. Jika aturan statuta saja diabaikan, maka kepercayaan publik terhadap integritas kampus akan semakin tergerus.”katanya.

Sejumlah akademisi menilai, praktik ini merusak marwah Senat sebagai organ deliberatif dan menurunkan kepercayaan publik terhadap independensi perguruan tinggi. Jika Senat terus dimarginalkan, universitas akan kehilangan pijakan kolegial yang semestinya menjadi pilar utama dalam pengambilan keputusan akademik.

Situasi tersebut menambah daftar panjang persoalan tata kelola di lingkungan PTKIN. Tanpa evaluasi serius dari Kementerian Agama, khususnya Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, pemilihan Rektor UIN Raden Intan Lampung berisiko kehilangan legitimasi moral sekaligus menabrak norma hukum positif.

Kesimpulannya, pembentukan panitia pemilihan Rektor tanpa melibatkan Senat secara penuh, ditambah penunjukan ketua panitia yang sarat kejanggalan, menunjukkan adanya praktik pengangkangan terhadap PMA. Jika tidak segera dikoreksi, universitas akan terus dipersepsikan sebagai lembaga dengan budaya “koboy” dan kebal hukum, jauh dari nilai-nilai integritas yang seharusnya dijunjung tinggi dalam dunia akademik. (AL)

banner 120x600
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *