Oleh: H. Puji Raharjo
Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Provinsi Lampung
Tragedi ambruknya bangunan di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo, beberapa waktu lalu, menjadi duka mendalam bagi umat Islam Indonesia. Tangis keluarga, doa para santri, dan kepedihan masyarakat mengiringi kabar itu. Namun di balik musibah tersebut, kita disadarkan kembali betapa besar peran pesantren dalam perjalanan bangsa, dan betapa berat beban yang mereka tanggung dalam sunyi.
Sejak masa penjajahan hingga kini, pesantren selalu hadir sebagai rumah ilmu dan akhlak. Di tempat-tempat sederhana itulah lahir generasi bangsa — guru, ulama, pejuang, dan pemimpin yang mengajarkan arti pengabdian dan keikhlasan.
Pesantren mengajarkan bahwa kecerdasan bukan hanya soal pengetahuan, tetapi juga kebijaksanaan; bahwa pendidikan bukan sekadar melatih otak, tapi juga menumbuhkan nurani. Namun di tengah kemuliaannya, pesantren kerap berjuang dalam keterbatasan. Banyak pondok berdiri tanpa dukungan infrastruktur memadai, bergantung pada swadaya masyarakat, sementara para kiai dan ustaz mengabdi tanpa pamrih.
Mereka mendidik anak-anak yatim, anak desa, anak miskin, dengan semangat ikhlas lillahi ta‘ala. Tidak jarang ruang belajar sederhana, peralatan seadanya, dan bangunan berdiri dari hasil gotong royong. Namun justru di sanalah keikhlasan tumbuh subur, dan cahaya ilmu menyala di hati santri-santri yang haus pengetahuan.
Peristiwa di Al-Khoziny adalah cermin dari dilema itu. Pesantren menjalankan peran besar bagi bangsa, namun sering berjalan sendiri dalam senyap. Negara dan masyarakat kerap lupa bahwa pesantren bukan hanya lembaga pendidikan agama, tetapi pilar moral bangsa.
Mereka yang hidup di dalamnya menjaga adab, menanamkan akhlak, dan menghidupkan nilai-nilai adiluhung yang mulai langka di tengah arus modernitas. Ketika generasi muda sibuk mengejar prestise dan materi, pesantren tetap menanamkan kesederhanaan, kesabaran, dan tanggung jawab sosial.
Panggilan dan Tanggung Jawab Bersama
Kini, di tengah duka, kita kembali menyaksikan keteguhan para kiai. Mereka tidak menyalahkan siapa pun, tidak meminta belas kasihan. Dengan hati lapang, mereka menenangkan santri, menata puing, dan berbisik: “Ini ujian, dan dari ujianlah kekuatan lahir.”
Begitulah watak pesantren — tak tumbang oleh cobaan, tak surut oleh kekurangan. Sebab, mereka hidup dengan keyakinan bahwa setiap musibah mengandung pelajaran, dan setiap reruntuhan bisa menjadi pondasi baru bagi masa depan yang lebih kokoh.
Namun refleksi ini juga harus menjadi panggilan bagi kita semua. Pesantren tidak boleh dibiarkan berjuang sendirian. Pemerintah, masyarakat, dan dunia pendidikan harus bergandengan tangan untuk memastikan keselamatan dan kelayakan sarana pesantren di seluruh negeri.
Pengawasan konstruksi, dukungan pembiayaan, hingga program peningkatan mutu pendidikan harus dipandang bukan sebagai bantuan, tetapi sebagai investasi moral bangsa. Sebab, jika pesantren runtuh — bukan hanya gedung yang roboh, tetapi juga benteng karakter bangsa yang terkoyak.
Kita berhutang banyak pada pesantren. Dari rahimnya lahir ulama, guru, pejuang, dan pendiri bangsa. Mereka membangun Indonesia dengan tinta ilmu dan keringat pengabdian. Karenanya, tragedi seperti di Al-Khoziny harus menjadi titik balik: agar pesantren di seluruh Indonesia berdiri lebih aman, lebih kuat, dan lebih dimuliakan perannya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Cahaya pesantren tidak akan padam. Ia hidup di hati para kiai, menyala di jiwa para santri, dan berpendar di ruang-ruang belajar sederhana. Tragedi boleh mengguncang, tapi semangat itu tetap menyala.
Pesantren adalah pelita bangsa yang tak pernah lelah menerangi jalan anak negeri menuju masa depan yang berilmu, berakhlak, dan beradab. Selama masih ada kiai yang mengajar dengan sabar, santri yang menimba ilmu dengan taat, dan masyarakat yang menghormati ilmu dengan cinta — Indonesia akan tetap punya harapan.
Karena pesantren bukan sekadar lembaga. Ia adalah napas kehidupan bangsa — yang menjaga agar jiwa negeri ini tetap waras, beriman, dan beradab di tengah dunia yang kian bising dan berjarak dari nilai kemanusiaan. Dan selama napas itu terus berhembus, Indonesia tidak akan kehilangan arah.















