Oleh: H. Puji Raharjo Soekarno
Ketua Presnas Ikapete
Di tengah hiruk-pikuk dunia media yang kian haus perhatian, batas antara berita dan hiburan semakin kabur. Tayangan televisi kini sering menjelma menjadi panggung sensasi, tempat kejujuran dikorbankan demi angka rating dan popularitas.
Pemberitaan program Trans7 “Expose Uncensored” tentang pesantren, yang disajikan secara sepihak dan tidak proporsional, telah melukai hati para santri dan kiai di seluruh pelosok negeri. Tayangan semacam itu tidak hanya mencederai muruah lembaga pesantren yang selama ini menjadi benteng moral bangsa, tetapi juga mengkhianati nurani jurnalisme yang seharusnya berdiri di atas kebenaran dan keadilan.
Dunia pesantren memandang tindakan itu bukan sekadar kekeliruan teknis, melainkan bentuk pengingkaran terhadap nilai kemanusiaan dan kebangsaan yang dijaga dengan air mata dan doa. Bagi pesantren, tudingan dan framing yang menyudutkan itu terasa seperti debu yang dilempar ke wajah sejarah panjang perjuangan ulama dan santri. Pesantren bukan tempat kegelapan, melainkan pelita ilmu dan adab yang telah menerangi Indonesia sejak masa perjuangan.
Maka wajar jika muncul gelombang kekecewaan, bahkan kemarahan, dari para kiai, santri, dan umat Islam yang melihat tayangan tersebut sebagai bentuk ghaflah — kelalaian besar dalam menjaga kehormatan ilmu dan agama. Sebab dalam tradisi Islam, terlebih di dunia pesantren, adab selalu diletakkan di atas ilmu. Ilmu tanpa adab hanya melahirkan kesombongan, sementara adab tanpa ilmu masih dapat menyelamatkan seseorang dari kehinaan.
Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim mengutip perkataan Imam Abdullah bin Mubarak:
> نَحْنُ إِلَى قَلِيلٍ مِنَ الْأَدَبِ أَحْوَجُ مِنَّا إِلَى كَثِيرٍ مِنَ الْعِلْمِ
“Kita lebih membutuhkan sedikit adab daripada banyak ilmu.”
Ungkapan ini menjadi fondasi pendidikan pesantren. Sejak dini, santri diajarkan bukan hanya membaca kitab, tetapi juga membaca hati. Mereka menimba ilmu dengan menundukkan ego, menghormati guru, menjaga lisan, dan menata niat sebelum melangkah. Karena itu, kalimat yang paling sering terdengar dari para kiai adalah nasihat untuk menjaga adab sebelum menuntut ilmu.
Adab dalam pandangan pesantren bukan sekadar sopan santun, tetapi kesadaran batin untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya (wad’u asy-syai’ fi mahallihi). Ia adalah bentuk integritas yang lahir dari hati yang bersih dan jiwa yang tawadhu’.
Di era digital saat ini, media seharusnya menjadi penyalur kebenaran dan pencerah akal publik. Namun sebagian media justru terjebak dalam logika clickbait dan viralitas. Kebenaran dikemas seperti dagangan, sementara kehormatan manusia diobral demi penonton.
Al-Qur’an telah memberikan peringatan tegas:
> يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌۭ بِنَبَإٍۢ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًۭا بِجَهَـٰلَةٍۢ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَـٰدِمِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya, sehingga kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
(QS Al-Ḥujurāt [49]: 6)
Dalam Tafsīr al-Qurṭubī dijelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan al-Walīd bin ‘Uqbah, yang diutus Rasulullah saw untuk mengambil zakat dari Bani al-Muṣṭaliq. Karena rasa takut dan prasangka, ia kembali ke Madinah dengan membawa kabar bahwa kaum tersebut menolak zakat dan hendak memerangi utusan Nabi. Rasulullah hampir saja mengirim pasukan untuk menyerang mereka, hingga datang rombongan Bani al-Muṣṭaliq menjelaskan kebenaran yang sesungguhnya. Saat itulah Allah menurunkan ayat ini sebagai peringatan agar kaum beriman tidak tergesa-gesa menelan berita tanpa verifikasi.
Pelajaran ini sangat relevan bagi dunia media hari ini. Setiap berita harus ditimbang dengan kehati-hatian, bukan didorong oleh sensasi. Sebab, satu tayangan yang tidak benar dapat merusak kehormatan lembaga, bahkan mengguncang kepercayaan umat.
Pesantren mengajarkan bahwa adab adalah cahaya yang menuntun ilmu menuju kemaslahatan. Tanpa adab, ilmu berubah menjadi alat kesombongan; tanpa adab, media kehilangan nurani. Maka sudah saatnya dunia jurnalistik kembali ke ruh keilmuan yang beradab, agar berita tidak hanya benar, tetapi juga membawa keberkahan bagi bangsa.















